Syaikh Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa
suami isteri mempunyai hak bersama, yakni mereka diperbolehkan saling
menikmati hubungan seksual secara timbal balik; isteri haram dinikahi
oleh ayah suaminya, kakeknya, anaknya, dan cucu-cucunya; begitu pula ibu
isterinya, anak perempuannya, dan seluruh cucunya haram dinikahi
suaminya; mendapatkan hak saling mewarisi akibat dari ikatan pernikahan
yang sah; menasabkan anak kepada suaminya yang sah; dan bersikap baik
diantara keduanya.[1]
Abu Bakar Jabir Al Jazairi menyebutkan
hak-hak yang sama antara suami-isteri yang lain, yakni bersikap amanah
terhadap pasangannya, dan tidak mengkhianatinya sedikit ataupun banyak
karena suami isteri adalah laksana dua mitra yang dari keduanya harus
ada sifat amanah, saling menasihati, jujur, dan ikhlas dalam semua
urusan pribadi dan umum keduanya; memberikan cinta kasih yang tulus
kepada pasangannya sepanjang hidup; mempercayai pasangannya, tidak
meragukan kejujurannya, nasihatnya, dan keikhlasannya; serta
melaksanakan etika umum seperti lemah lembut dalam pergaulan
sehari-hari, wajah yang berseri-seri, ucapan yang baik, penghargaan, dan
penghormatan.[2]
Seorang isteri berhak memperoleh hak
kebendaan dari suaminya yaitu mahar dan nafkah. Suami wajib memberikan
mahar kepada isteri sesuai yang diperintahkan Allah kepada kaum lelaki.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An Nisa’: 4)
Mahar yang ditentukan oleh perempuan dan
diberikan oleh laki-laki akan menumbuhkan kasih sayang di antara
keduanya. Oleh karena itu, seorang perempuan hendaklah tidak meminta
mahar yang sulit dipenuhi oleh laki-laki, karena hal ini bisa saja
menimbulkan bibit ketidaksukaan diantara keduanya. Bahkan, seorang
wanita yang memperingan mahar akan membawa keberkahan dalam
pernikahannya.
Tentang kewajiban nafkah suami terhadap
isteri, Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan maksud nafkah adalah memenuhi
kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan
isteri jika ia orang kaya. Pemberian nafkah ini hukumnya wajib.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Al Baqarah: 233)
Jika seorang suami secara nyata tidak
mampu memberikan nafkah kepada isterinya, misalnya karena miskin,
seyogyanya seorang isteri tidak menuntut secara berlebihan dari
suaminya. Bahkan dianjurkan bagi seorang isteri untuk membantu kondisi
perekonomian keluarga. Seandainya sang isteri memberikan bantuan
finansial kepada suami, maka ia mendapatkan dua pahala sekaligus. Pahala
sedekah dan pahala kekerabatan.
Selain memperoleh hak kebendaan, seorang
isteri juga berhak atas hak ruhani. Seorang suami harus berlaku dan
bergaul dengan baik kepada isterinya.
“Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa’: 19)
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Kewajiban
suami terhadap isteri adalah menghormatinya, bergaul dengan baik,
memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang
patut didahulukan untuk menyenangkan hatinya, lebih-lebih bersikap
menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan di hadapannya, dan
bersabar ketika menghadapi setiap permasalahan yang ditimbulkan oleh
isteri.”
Rasulullah bersabda, “Orang mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Orang
yang paling baik diantara kamu yaitu yang berakhlak baik kepada
isterinya.”
Islam menginginkan agar suami bersikap
adil terhadap isterinya. Jika ia tidak menyenangi salah satu sifat
isterinya, ia masih bisa mendapatkan sesuau yang membuatnya
menyenanginya dari isterinya tersebut.
Seorang suami juga harus menjaga
isterinya dari berbagai hal yang menodai kehormatannya, menjaga harga
dirinya, menjunjung kemuliaannya, menjauhkannya dari pembicaraan yang
tidak baik. Semua ini termasuk sifat cemburu yang disenangi Allah.
Seorang isteri juga berhak atas kebutuhan biologisnya dari suami, yakni hubungan seksual.
“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al Baqarah: 222)
Dalam Fiqhus Sunah, dijelaskan bahwa
disunnahkan suami dan isteri bercumbu rayu, saling bersenda gurau,
saling merayu, mencium, dan suami mestilah menahan ejakulasi sehingga
isteri juga merasakan kepuasan.
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Jika
seseorang diantaramu bersenggama dengan isterinya, hendaklah ia
melakukannya dengan penuh semangat. Jika dia sudah hendak ejakulasi,
sementara isterinya belum sampai pada klimaksnya, janganlah ia
tergesa-gesa (untuk mengakhiri persetubuhan) sebelum klimaks isterinya
terpenuhi.” (HR Abu Ya’la)
Suami isteri dilarang menceritakan
masalah persenggamaan mereka kepada orang lain, kecuali untuk pengaduan
hukum dan kesehatan. Siapa yang menceritakan rahasia persenggamaannya,
maka ia seperti syaitan yang bersetubuh di tempat umum.
Dari Abi Sa’id, bahwa Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya, orang yang paling buruk kedudukannya di hari kiamat di
sisi Allah adalah laki-laki yang menyetubuhi isterinya kemudian ia
menceitakan rahasia si isteri.” (HR Ahmad)
[1] Fikih Sunnah
[2] Minhajul Muslimin
sumber: http://duaseptember2011.wordpress.com/tag/hak-dan-kewajiban-suami-istri/
sumber: http://duaseptember2011.wordpress.com/tag/hak-dan-kewajiban-suami-istri/