Oleh
Al-Ustadz Aunur Rofiq Ghufron
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang
mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” [Ar-Rum : 7]
Ayat diatas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya
mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan.
Contohnya pada bulan-bulan ini,
sebagian besar orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada lembaga
pendidikan yang berorientasi dunia belaka, sedangkan masalah aqidah,
manhaj, adab dan keselamatan di dunia dan akhirat diabaikan.
Perhatian mereka hanya berfokus kepada sekolah yang bisa mengantarkan anaknya menjadi cerdas
dan cepat dalam pekerjaan. Prinsip ini bukan hanya ada pada orang awam
saja, tetapi tokoh agama dan da’i yang menggebu-gebu membela Islam lebih
senang menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan umum yang tidak
jelas aqidah dan manhajnya daripada menyekolahkan anaknya di pesantren
yang dikelola menurut Sunnah.
Bahkan mereka ragu dan was-was bila anaknya masuk pesantren karena tidak
diterima di sekolah umum. Mereka khawatir masa depan anaknya suram,
tidak bertitelkan sarjana, tidak diterima sebagai pegawai negeri, tidak bisa mencari rezeki, dan alasan lainnya
Inilah kondisi umat Islam pada umumnya, bahkan ada yang sampai hati
memarahi anaknya dan tidak memberi nafkah kepada anaknya bila mereka
putus kuliah karena ingin mencari ilmu Dienul Islam di pesantren,
lantaran dianggapnya durhaka kepada orang tua. Mereka tidak mau bertanya
mengapa anaknya keluar dari bangku kuliah. Bahkan bila hal itu terjadi
pada putrinya, maka diusir dari rumah, apalagi jika memakai cadar atau
hijab muslimah dituduhnya mengikuti aliran keras dan semisalnya, karena
orang tua merasa hina dan malu kepada tetangga dan temannya.
Selanjutnya, agar kita tidak dikuasai oleh hawa nafsu yang selalu sesat
dan menyesatkan, khususnya menghadapi keberadaan umat Islam berkenaan
dengan dunia pendidikan, mari
kita pelajari keterangan ayat diatas sesuai dengan pemahaman ulama
Sunnah dan mari kita telaah bagaimana seharusnya kita mendidik anak,
agar menjadi anak yang shalih, bermanfaat untuk dirinya, orang tua dan
umat.
TAFSIR AYAT SECARA UMUM
Memahami ayat menurut pemahaman ulama Salaf sangat penting bagi setiap
umat Islam yang ingin bersatu dan tidak berpecah-belah, karena ahli
bid’ah, orang musyrik, dan harakiyyin umumnya mereka tidak berselisih
tentang berdalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi berselisih tentang
rujukan memahaminya oleh karena itu, di antara
ushul Ahli Sunnah –sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad
rahimahullah- yang pertama ialah berpegang teguh kepada ilmu dan
pemahaman shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[Lihat
Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad hal25, Tahqiq Al-Walid An-Nase]
Adapun sebagian ulama Sunnah menafsirkan ayat ini sebagai berikut.
Ibnu Jarir rahimahullah berkata : “Allah mengkhabarkan orang yang
mendustakan kebenaran berita Allah itu tahu, bahwa bangsa Romawi diberi
kemampuan oleh Allah untuk mengalahkan kerajaan Persia, karena mereka memiliki kekuatan duniawi dan pengaturan ekonomi yang baik, akan tetapi bangsa ini lupa tidak memikirkan keselamatan dirinya besok pada hari kiamat” [Tafsir Ath-Thabari 21/16]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu
melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan
tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu Dienul Islam
untuk kebahagiaan akhirat mereka” [Tafsir Ibnu Katsir 3/428]
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata : “Adapun orang
yang mengandalkan akalnya belaka serta sibuk dengan ilmu duniawi
sehingga mereka berani berfatwa dan mengajar umat, mereka itu tergolong
firman Allah di dalam surat Ar-Rum ayat 7. Itu semua karena ambisi
kenikmatan duniawi. Seandainya mereka bersedia hidup sederhana dan
mengingat urusan akhiratnya, mau menasihati diri dan umat, tentu mereka
akan berpegang kepada wahyui Ilahi yuang diturunkan kepada Rasul-Nya”
[Tafsir Ibnu Rajab Al-Hanbali 1/420]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata : “Pikiran
mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan
akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka.
Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan
gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik,
angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka,
seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang
lain menurut pandangan mereka adalah hina.
Akan tetapi ingatlah ! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan
akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang
tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu
bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi
orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah Azza
wa Jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa
semua itu adalah pemberian Allah Azza wa Jalla dan kenikmatan itu
disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran
dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan
dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri” [Taisir Karimir
Rahman 4/75]
Selaku orang tua yang mendapat hidayah dari Allah Jalla Jalaluhu tentu
akan dapat mengambil faedah dari ayat diatas beserta keterangannya untuk
menentukan sikap, ke mana anak disekolahkan? Dan agar menyadari bahwa
kebahagiaan hidup bukanlah sebagaiman yang dibayangkan oleh orang secara
umum dan bukan yang diimpikan oleh orang kafir yang tidak mau mengenal
melainkan ilmu urusan dunia belaka
PENJABARAN MAKNA AYAT
Surat Ar-Rum ayat 7, ini mendapat perhatian serius oleh ulama Sunnah.
Karena itu, marilah kita menelaah fatwa mereka, agar kita dapat
mengambil faedah untuk meluruskan tujuan hidup dan selamat dari
siksa-Nya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Mereka itu hanya pandai
mencari rezeki, seperti kapan bercocok tanam, kapan mengetam dan cara
menimbunnya, dan pandai membangun gedung yang mewah. Akan tetapi, mereka
itu bodoh dalam urusan akhiratnya” [Tafsir Ath-Thabari 21/23]
Hasan bin Ali rahimahullah berkata : “Karena kepandaian dalam urusan
dunia, dia mampu menimbang dirham di atas kukunya dan tahu berat
timbangannya, akan tetapi dia tidak pandai mengerjakan shalat”
[Ad-Durrul Mantsur 6/483]
Mujahid rahimahullah berkata : “Orang kafir itu gembira karena
perkembangan urusan duniawinya, akan tetapi mereka ingkar siksa kubur”
[Tafsir Al-Qurthubi 15/235]
Qatadah rahimahullah berkata : “Mereka hanya pandai dalam urusan
perdagangan dan produksi serta cara memasarkannya” [Ad-Durrul Mantsur
6/483]
Adh-Dhahak rahimahullah berkata : “Mereka hanya pandai membangun istana,
membuat saluran sungai, dan ilmu bercocok tanam” [Tafsir Al-Qurthubi
14/7]
Ibnu Khalaweh rahimahullah berkata : “Mereka itu pandai mengatur
strategi hidup, akan tetapi ilmu dien dan beramal shalih mereka
lupakannya” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]
Ikrimah rahimahullah berkata : “Mereka itu pemahat dan pembuat pelita” [Tafsir Ath-Thabari 21/16]
Abul Abbas Al-Mubarrid rahimahullah berkata : “Kerajaan Persia itu
pandai mengatur waktunya, pada saat angin kencang mereka beristirahat
kerja, pada saat mendung tiba mereka berburu dan mengail, bila hujan
tiba mereka menimbun air untuk minum dan bermain-main, bila matahari
terang mereka bekerja untuk memenuhi hajatnya” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]
Imam Syaukani rahimahullah berkata : “Mereka itu hanya mengetahui yang
zhahir berupa kehidupan yang batil. Sedangkan nikmat yang kekal dan
murni untuk hari akhiratnya tidaklah mereka mau mempelajarinya, bahkan
mereka melupakannya” [Fathul Qadir, surat Ar-Rum : 7]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Ada yang berpendapat : ‘Mereka
itu dibisiki oleh setan untuk mengurusi urusan dunia saja” [Tafsir
Al-Qurthubi 14/7]
Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata : “Ada yang berpendapat : ‘Mereka
di dalam ayat ini adalah para dukun peramal yang memperoleh bisikan dari
setan yang mencuri pendengaran dari langit untuk membohongi manusia”
[Tafsir Ath-Thabari 21/23]
Sekian banyak keterangan yang disampaikan oleh ulama Sunnah ini
menjelaskan konsep hidup orang kafir yang anti ilmu Dienul Islam dan
beramal shalih, tidak percaya adanya hari pembalasan. Hidup mereka
bagaikan hewan, waktunya hanya untuk mencari kesenangan dunia dan makan.
Na’udzu billahi min dzalik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ
“….Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka
makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat
tinggal mereka” [Muhammad : 12]
Umat Islam yang dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla hendaknya menjauhi
sifat orang kafir, dan tidak mengukur kebahagiaan semata-mata karena
urusan dunia. Akan tetapi, orang yang berbahagia ialah orang yang
mendahulukan dirinya dan keluarganya mempelajari ilmu iman dan taqwa
sebagaimana dijelaskan di dalam surat Al-Ashr, bahwa manusia yang
beruntung ialah orang yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat
kepada kebenaran dan kesabaran.
Musibah yang paling besar di dunia ini, sebagaimana yang kita saksikan,
bukanlah karena dilanda kemiskinan harta, akan tetapi karena miskin ilmu
Sunnah. Betapa banyak orang kaya tanpa ilmu dien, kekayaannya merusak
dirinya, anak dan keluarganya, bahkan merusak ekonomi masyarakat awam
serta membendung jalan yang haq. Inikah kebahagian hidup? Memang sedikit
orang yang menyadari atas kerugian dirinya dan keluarga bila mereka
dilanda kemiskinan aqidah dan ibadah, akan tetapi mereka merasa rugi
bila dilanda krisis ekonomi dan kesakitan dibadannya.
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Ulama berkata : ‘Termasuk
bencana besar, bila kamu melihat seseorang itu cerdas, tanggap, dan
teliti ketika dilanda musibah urusan duniawinya, akan tetapi tidak
merasa rugi bila kena musibah agamanya”. [Tafsir Al-Qurthubi 14/8]
ILMU DAN MACAMNYA
Perlu kita bahas ilmu ini karena erat hubungannya dengan pendidikan anak
Al-Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani rahimahullah berkata : “Ilmu ialah
mengetahui hakikat sesuatu, hal ini ada dua macam : (1). Mengetahui
wujudnya sesuatu. (2). Menghukumi sesuatu itu ada atau tidak ada.
Sedangkan dalil yang pertama seperti yang tercantum di dalam surat
Al-Anfal ayat 60 dan dalil yang kedua tercantum di dalam surat
Al-Mumtahanah ayat 10” [Mufradat Al-Fadhil Qur’an : 580]
Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :”Ilmu menurut bahasa
adalah lawan dari jahil, yaitu mengetahui sesuatu dengan pasti.
Sedangkan menurut istilah, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama
ialah : Ma’rifat (mengenal sesuatu). Ada lagi yang berpendapat bahwa
ilmu itu lebih jelas daripada sekedar dikenal. Adapun yang kami
maksudkan di sini ialah ilmu syar’i yang Allah Azza wa Jalla turunkan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi keterangan
dan petunjuk, dan ilmu wahyu inilah ilmu yang terpuji sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah baik, maka dimudahkan memahami
Dienul Islam” [HR Bukhari : 29] [Kitabul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal.
13]
Adapun macam ilmu sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Allamah Ar-Raghib
Al-Ashfahani rahimahullah ada dua ilmu nazhari (teori) dan amali
(praktek). Maka ilmu nazhari bila sudah diketahui, itu sudah sempurna,
seperti ilmu tentang wujudnya alam. Sedangkan ilmu amali, tidaklah
diketahui dengan sempurna kecuali bila telah diamalkan, seperti amal
ibadah. Adapun pembagian yang lain : ilmu ada yang aqli (bersumber dari
akal, yang diperoleh dengan percobaan yang berulang-ulang) dan ada yang
sam’i (bersumber dari wahyu Ilahi yang cepat diperoleh dengan pasti
tanpa ada percobaan dan keraguan). [Lihat Mufradat Al-Fadhil Qur’an :
580]
Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah berkata : “Ilmu dibagi menjadi dua :
1. Ilmu yang bermanfaat, yang dapat menjernihkan jiwa, mendidik akhlak
yang mulia, dan memperbaiki aqidah, sehingga dapat menghasilkan amal
yang shalih dan membuahkan kebaikan yang banyak. Ilmu ini adalah ilmu
syari’at Islam dan penunjangnya, seperti bahasa Arab.
2. Ilmu yang tidak mendidik akhlak, tidak memperbaiki akal, dan tidak
memperbaiki aqidah. Ilmu ini dipelajari hanya untuk mencari faedah
duniawi belaka, itulah ilmu yang dihasilkan oleh manusia dengan beraneka
ragam bentuknya,. Jika ilmu ini didasari dengan iman dan landasan
Dienul Islam maka menjadilah ilmu duniawiyyah diniyyah. Akan tetapi,
bila tidak digunakan untuk membela agama Islam, ilmu itu hanya ilmu
dunia belaka, tidak mulia, bahkan berakhir dengan kehinaan, dan boleh
jadi akan merusak dirinya sendiri, seperti ilmu membuat senjata dan
lainnya, dan boleh jadi mereka sombong dan menghina orang lain termasuk
menghina ilmu wahyu yang diturunkan kepada para utusan Allah Azza wa
Jalla, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat Ghafir ayat 83”.
[Al-Mu’in Ala Tahshili Adabil Ilmi wa Akhlaqi Muta’allimin oleh Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di : 37,38]
Dari keterangan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ilmu dibagi menjadi
beberapa bagian. Ditinjau dari segi hakikat dan hukumnya ada dua : (1).
Mengetahui hakekat benda, (2). Mengetahui hukum adanya sesuatu dan tidak
adanya. Jika ditinjau dari sumbernya ada dua pula : (1). Aqli, (2).
Sam’i. Dan jika ditinjau dari faedahnya ada tiga : (1). Ilmu yang pasti
berfaedah ialah ilmu syari’at Islam, (2). Ilmu duniawi yang dilandasi
syari’at Islam dan digunakan untuk khidmah Islam maka bermanfaat pula,
dan (3). Ilmu duniawi yang tidak dilandasi iman dan tidak dipergunakan
untuk khidmah Islam maka ilmu ini adakan merusak dirinya. Mudah-mudahan
keterangan ini menambah wawasan wali murid, di mana hendaknya mereka
menyekolahkan anaknya.
HUKUM MENUNTUT ILMU
Setelah kita memahami makna ilmu dan berbagai macam pembagiannya, perlu
pula kita mengetahui hukum menuntutnya. Mempelajari hukum sesuatu
sangatlah penting, karena berakibat baik atau buruk bagi setiap mukallaf
yang melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Menurut kami –Wallahu
a’lam- setelah menelaah beberapa kitab, maka dapat kami simpulkan bahwa
hukum mempelajari ilmu sebagai berikut.
Menuntut Ilmu Syari’at Islam
1. Menuntut ilmu syar’i yang berkenaan dengan kewajiban menjalankan
ibadah bagi setiap mukallaf –seperti tahuid- dan yang berhubungan dengan
ibadah sehari-hari –semisal wudhu, shalat, dan lainnya-, maka hukumnya
fardhu ‘ain, karena syarat diterimanya ibadah harus ikhlas dan sesuai
dengan Sunnah, tentunya cara memperolehnya disesuaikan dengan
kemampuannya sebagaimana keterangan surat Al-Baqarah : 286
Menuntut ilmu syar’i ini pun tidak semuanya harus dipelajari segera
dalam waktu yang sama, karena ada amal ibadah yang diwajibkan untuk
orang yang mampu saja, seperti mengeluarkan zakat, haji, dan lainnya,
maka saat akan menjalankan ibadah tersebut hendaknya mempelajari
ilmunya. Sebagaimana keterangan Ibnu Utsaimin rahimahullah dan lainnya.
2. Menuntut ilmu syar’i yang hukumnya fardhu kifayah ; Maksudnya bukan
setiap orang muslim harus mengilmuinya, akan tetapi diwajibkan bagi
ahlinya seperti membahas ilmu ushul dan furu’nya dan juga yang berkenaan
dengan ijtihadiyyah.
Karena pentingnya kewajiban menuntut ilmu dien, maka sampai dalam kondisi perang pun hendaknya ada yang tafaqquh fiddin.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ
كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” [At-Taubah :
122]
Menuntut Ilmu Duniawi
1. Hukumnya tidaklah wajib ‘ain untuk setiap kaum muslimin, karena tidak
ada dalil yang mewajibkannya, dan karena istilah ilmu di dalam nash
Al-Qur’an dan Sunnah apabila muthlaq maka yang dimaksudkan adalah ilmu
syari’at Islam, bukan ilmu duniawi.
2. Kadang kala wajib kifayah pada saat tertentu, seperti ketika akan memasuki medan pertempuran dan lainnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Dapat kami simpulkan bahwa ilmu
syar’i adalah ilmu yang terpuji, sungguh mulia bagi yang menuntutnya.
Akan tetapi, saya tidak mengingkari ilmu lain yang berfaedah, namun ilmu
selain syar’i ini berfaedah apabila memiliki dua hal : (1). Jika
membantu taat kepada Allah Azza wa Jalla, dan (2). Bila menolong agama
Allah dan berfaedah untuk kaum muslimin. Bahkan kadang kala ilmu ini
wajib dipelajari apabila masuk di dalam firman-Nya.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang..” [Al-Anfal :
60] [Kitabul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 13-14]
3. Jika ilmu itu menuju kepada kejahatan maka haram menuntutnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Adapun ilmu selain syar’i boleh
jadi sebagai wasilah menuju kepada kebaikan atau jalan menuju kepada
kejahatan, maka hukumnya sesuai dengan jalan yang menuju kepadanya”
[Kitabul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 14]
TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN ANAK
Ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla menjadikan manusia pada umumnya
lahir karena pernikahan laki-laki dan perempuan, dan anak yang lahir
dalam keadaan fithrah, bersih dari dosa. Anak itu ditakdirkan oleh Allah
Azza wa Jalla menjadi shalih atau maksiat karena pendidikan.
Ketahuilah bahwa sebelum anak bergaul dengan orang lain, terlebih dahulu
bergaul dengan orang tuanya, karena itu Allah Azza wa Jalla
mengamanatkan pendidikan anak ini kepada kedua orang tuanya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalan dirimu dan keluargamu dari api neraka…” [At-Tahrim : 66]
Dan juga firman-Nya.
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” [Asy-Syu’ara : 214]
Disebutkan di dalam riwayat yang shahih bahwa tatkala turun ayat ini
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil sanak kerabat dan
keluarganya, bahkan beliau naik ke bukit Shafa memanggil khalayak ramai
agar masing-masing menyelamatkan dirinya dari api neraka.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah seorang anak lahir melainkan
dalam keadaan fithrah, maka kedua orang tualah yang menjadikannya,
menasranikannya, dan yang memajusikannya, sebagaimana binatang
melahirkan anak yang selamat dari cacat, apakah kamu menganggap hidung,
telinga, dan anggota binatang terpotong” [HR Muslim : 4803]
Dalil diatas menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab dan yang paling
utama atas pendidikan anak adalah orang tua, terutama pendidikan aqidah
yang menyelamatkan manusia dari api neraka. Dan yang penting lagi, dalil
diatas tidak menyinggung sedikitpun bahwa ilmu dunia lebih penting
daripada ilmu syariat Islam. Dalil ini hendaknya menjadi pegangan orang
tua pada saat menyekolahkan anaknya ketika dirinya berhalangan
mendidiknya.
Karena pentingnya pendidikan anak ini, sampai umur dewasa pun orang tua
hendaknya tetap memperhatikan pendidikan anaknya, sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
mengetuk pintu rumah sahabat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan
putrinya Fathimah Radhiyallahu ‘anha sambil menanyakan sudahkah mereka
berdua menunaikan shalat? [HR Bukhari 1059 bersumber dari sahabat Ali
Radhiyallahu ‘anhu]
Demikian juga para pengajar hendaknya memahami ajaran Islam yang benar
sehingga tidak mengajarkan kepada anak didiknya ilmu duniawi yang
merusak dien dan akhlak, karena semua tindakan akan dihisab pada hari
kiamat.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda. “Kalian semua adalah pemimpin dan masing-masing
bertanggung jawab atas yang dipimpin” [HR Bukhari 844]
KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU DIENUL ISLAM
Menuntut ilmu syar’i tidaklah sama dengan menuntut ilmu duniawi, karena
ilmu syar’i bersumber dari wahyu Ilahi, pasti benar dan bermanfaat, baik
di dunia dan akhirat kelak. Ilmu Islam bagaikan pelita yang menerangi
ahlinya untuk membedakan yang haq dan yang batil, yang sunnah dan yang
bid’ah dan pengantar menuju ke surga. Berbeda dengan ilmu hasil pikir
manusia, belum tentu membawa kebahagiaan hidup.
Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan keutamaan menuntut ilmu dienul Islam sebagai berikut.
1. Ilmu dien adalah warisan para nabi. Mereka tidaklah mewariskan kepada
umat melainkan mewariskan ilmu wahyu Allah sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud : 3157
2. Ilmu dien itu kekal, tidak musnah, akan mengikuti ahlinya sampai
meninggal dunia, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
3084
3. Ilmu dien itu tidak sulit menjaganya, karena tempatnya di hati, tidak
membutuhkan peti atau kunci, bahkan ilmu itu yang menjaga dirinya,
berbeda dengan harta benda, pemiliknya harus menjaganya.
4. Ahli ilmu dien memperoleh syuhada di atas yang haq, lihat surat Ali-Imran ; 18
5. Ahli ilmu dien termasuk waliyul amri yang wajib ditaati, lihat surat An-Nisaa : 59
6. Ahli ilmu dien penegak kebenaran sampai hari kiamat, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam. Bersabda. “Dan senantiasa umat ini penegak
hukum Allah, tidaklah membahayakan kepada mereka orang yang
menyelisihinya sampai datang keputusan Allah pada hari kiamat” [HR
Bukhari : 69 bersumber dari sahabat Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu]
7. Ahli ilmu dien diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa Jalla. Lihat
surat Al-Mujadilah : 11 [Kitabul Ilmu oleh Ibnu Utsaimin hal. 18-22]
Keutamaan menuntut ilmu syar’i sengaja kami bahas, agar orang tua tidak
ragu lagi menyekolahkan anaknya kepada pesantren Salafi yang dikelola
sedemikian rupa kurikulumnya dan diseleksi pengajarnya, dengan biaya
yang bisa dijangkau, insya Allah akan mengantarkan anak menjadi ahli
ibadah kepada Allah, birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua),
dan menjadi da’i pembela kebenaran –bi-idznillah-, yang kelak orang tua
akan memetik pahalanya walaupun telah meninggal dunia.
BAHAYA PENDIDIKAN SEKULER
Yang dimaksud pendidikan sekuler ialah pendidikan yang tidak memperhatikan ilmu dienul Islam, atau tidak berasaskan Islam.
Adapun bahayanya banyak sekali, bahaya pengajarnya, materinya, dan pergaulannya.
Bahaya Pengajar
Pada umumnya pengajarnya tidak mengenal aqidah yang benar, atau bodoh
terhadap ajaran Islam, dan boleh jadi mereka orang kafir atau musyrik
atau orang yang memusuhi Islam, itu semua karena latar belakang
pendidikan mereka sebelumnya.
Perhatikan dosen yang mengajar di perguruan tinggi agama Islam dan
lainnya. Tentu hal ini akan berbahaya bila penuntut ilmu tidak memiliki
aqidah dan syari’at Islam yang benar. Penuntut ilmu (mahasiswa) yang
memiliki pengetahuan yang haq pun segan menegur kesalahan pengajarnya
karena khawatir tidak lulus. Adapun siswa uang kuat imannya, tentu
tidaklah betah bergaul dengan mereka karena Allah Azza wa Jalla
menanamkan iman di hati mereka. Lihat surat Al-Hujurat : 7
Bahaya Materinya
Boleh jadi materi yang diajarkan termasuk perkara yang dilarang menurut
ajaran Islam karena berkenaan dengan aqidah dan akhlak, atau
membahayakan jasmani dan rohaninya. Maka siswa yang tidak mengenal
ajaran Islam yang kaffah tentu sulit untuk menghukumi materi itu boleh
dipelajari atau tidak.
Bahaya Pergaulan
Biasanya, pendidikan umum tidak memperhatikan pergaulan siswa dan
siswinya, mereka bercampur menjadi satu tanpa ada hijab (pembatas,-red)
yang menghalanginya, bahkan pengajarnya campur laki-laki dan wanita.
Padahal melihat wanita yang bukan mahramnya hukumnya haram (lihat surat
An-Nur : 30-31), apalagi bergaul bebas bertatap muka, sentuh-menyentuh,
berkhalwat, dan bepergian tanpa mahram. Tentu dosanya lebih besar
daripada manfaat ilmu yang diperolehnya. Perhatikan sekolah kedokteran
dan perkuliahan di jurusan lainnya, zina mata, telinga, mulut, tangan,
dan kaki, setiap hari menjemputnya. Siapakah yang bertanggung jawab bila
musibah telah menimpa? Siapakah yang bertanggung jawab di akhiratnya?
Adapun bahaya lain, mereka akan meninggalkan menuntut ilmu dienul Islam
dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla karena mereka sibuk dengan ilmu
duniawinya. Bahkan, boleh jadi akan memerangi Islam dan ulamanya.
SYUBHAT DAN BANTAHAN
Diantara syubhat (keragu-raguan, red) yang tersebar di kalangan
masyarakat, mereka menyekolahkan anak ke sekolah umum dan melalaikan
pendidikan aqidah shahihah sebagai berikut.
1. Mengikuti Orang-Orang Pada Umumnya.
Jiwa orang awam seperti terkena virus, kaidah mereka “yang ditiru banyak
orang itulah yang baik”. Jika anak tidak masuk sekolah umum maka
tidaklah dinamakan bersekolah, itulah aqidah mereka. Oleh karena itu,
mereka berebut supaya anaknya diterima di sekolah negeri atau sekolah
swasta yang berstatus disamakan –minimlahnya yang diakui-. Padahal
prinsip “umumnya” tidak menjamin baik, dan itulah kenyataannya.
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah …” [Al-An’am : 116]
2. Khawatir Tidak Dapat Pekerjaan
Seharusnya orang Islam khawatir apabila dia dan anaknya tidak bisa
menuntut ilmu dienul Islam dan tidak memiliki aqidah yang shahihah
karena nikmat ini tidak semua orang meraihnya, berbeda dengan kenikmatan
berupa rezeki, semua hamba-Nya –yang beriman ataupun kafir- dijamin
pasti menerimanya (lihat surat Hud : 6), apalagi mereka mau menuntut
ilmu dien dan bertaqwa, niscaya Allah Azza wa Jalla membuka rezekinya
dari langit dan bumi (lihat surat Al-A’raf : 96) dan niscaya Allah
mengangkat derajatnya (lihat surat Al-Mujadilah : 11).
3. Orang Islam Harus Kaya
Prinsip “orang Islam harus kaya” bukanlah tujuan hidup orang yang
beriman, akan tetapi prinsipnya orang kafir. Tujuan hidup yang benar
adalah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla (lihat surat Adz-Dzariyat :
56). Agama Islam tidak melarang orang menjadi kaya, akan tetapi
meninggalkan pendidikan Islam untuk mencari kekayaan adalah merusak
aqidah dan moral (lihat surat At-Takatsur : 1) dan Al-Humazah : 1-2),
bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak khawatir apabila
umatnya miskin, akan tetapi khawatir bila umatnya kaya
Dari Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda. “Maka demi Allah, tidaklah aku khawatir bila kamu itu
fakir, akan tetapi aku khawatir bila kamu dilapangkan urusan duniawimu
sebagaimana orang sebelummu, lalu kamu berlomba-lomba mengejarnya
seperti mereka, lalu kamu hancur seperti mereka” [HR Bukhari 2924,
Muslim 5261]
4. Kemunduran Kaum Muslimin Karena Faktor Ekonomi
Kami tidak mengigkari bahwa ekonomi penunjang kekuatan kaum muslimin
sebagaimana kekuatan kaum muslimin sebagaimana disebutkan di dalam surat
Al-Anfal : 60. Akan tetapi, semata-mata mengejar urusan dunia tanpa
dilandasi aqidah yang benar, tidaklah memakmurkan Islam, justru
sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan
kehancuran kaum muslimin karena umatnya ambisi dunia, bukan karena
mengejar ilmu Sunnah.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda. “Apabila kamu senang jual beli dengan sistem ‘inah
(membeli secara kredit lalu dijual tunai kepada penjual dengan harga
lebih murah) dan kamu sibuk dengan memegang ekor sapimu dan kamu lebih
menyukai kebunmu, dan kamu tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan
kehinaan pada dirimu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut kehinaan
ini sehingga kamu berpegang kepada agamamu” [HR Abu Dawud : 303, lihat
Ash-Shahihah : 11]
Hadits ini menjawab syubhatnya hizbiyyin dan harakiyyin yang punya
prinsip seperti di atas, mereka ingin mengajak umat untuk meraih izzah,
tetapi dengan cara menghinakan umat
Akhirnya semoga kita semua senantiasa mendapat perlindungan dan hidayah-Nya.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006.
Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat :
Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]