Setiap muzaki yang melakukan pembayaran
zakat melalui Badan Amil Zakat (menurut nomenklatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 berubah menjadi BAZNAS, BAZNAS Provinsi dan BAZNAS
Kabupaten/Kota) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang teregistrasi mendapat
insentif dalam kaitan dengan pembayaran pajak penghasilan, yaitu bukti
pembayaran zakat atau disebut Bukti Setoran Zakat diperhitungkan sebagai
komponen biaya yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak atau
disebut “pengurang penghasilan bruto”.
Formulir Bukti Setor Zakat dari BAZNAS yang dapat dilampirkan
dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai Pengurang Penghasilan Kena
Pajak.
Pembayaran zakat atas gaji karyawan
melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Kementerian/Lembaga dan BUMN baik
dilakukan secara tunai maupun payroll system juga diakomodasi
sebagai pengurang penghasilan kena pajak, dengan syarat UPZ tersebut
menyetorkan dana zakat yang terkumpul kepada BAZNAS dan atas dasar itu
BAZNAS menerbitkan kwitansi bukti setoran zakat.
Terkait dengan itu, dalam Undang-Undang
tentang Pengelolaan Zakat (UU No 23 Tahun 2011) bahwa BAZ atau LAZ
wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran
zakat tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam
pengisian SPT tahunan.
Pembayaran zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak (penghasilan bruto) telah berlaku sejak 2001.
Namun sampai saat ini masih banyak Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam atau pembayar zakat (muzaki) yang belum memanfaatkan
pengurangan penghasilan bruto atas Pajak Penghasilan (PPh) tersebut.
Untuk itu amil zakat dan pegawai pajak di semua kantor pelayanan
diharapkan dapat memberi informasi dan penjelasan kepada para muzaki dan
Wajib Pajak yang dilayaninya.
Penting diketahui bahwa pengurang
penghasilan bruto sebetulnya tidak hanya zakat atas penghasilan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam, tetapi
juga berlaku untuk zakat penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan
atau lembaga zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku
di negara kita, khususnya yang terkait dengan PPh adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 bahwa
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dikurangkan dari
penghasilan bruto. Kebijakan Ditjen Pajak juga menetapkan bahwa terhadap
Wajib Pajak orang pribadi yang ketika penyampaian SPT Tahunan PPh yang
menyatakan kelebihan bayar (termasuk lebih bayar karena pemotongan
zakat), niscaya akan dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran
pajaknya tanpa melalui pemeriksaan, tetapi cukup dengan penelitian oleh
pegawai pajak.
Upaya mensosialisasikan zakat sebagai
pengurang penghasilan bruto, tidak cukup hanya dilakukan oleh BAZNAS dan
Kementerian Agama saja. Tetapi membutuhkan koordinasi, kerjasama dan
sinergi dengan instansi terkait, terutama jajaran Direktorat Jenderal
Pajak. Koordinasi, kerjasama dan sinergi itulah yang ke depan perlu
dibangun di tingkat institusi, karena bagi umat Islam zakat dan pajak
adalah dua kewajiban yang seiring dan paralel.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah
bahwa zakat dan pajak harus dikelola secara amanah dan transparan.
Kejujuran tidak hanya dituntut dari para muzaki dan Wajib Pajak ketika
menghitung sendiri kewajiban zakat dan pajak penghasilannya, tetapi juga
para petugas pengumpul zakat dan pemungut pajak.
Ketidakjujuran/ketidak-amanahan akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat
dan melemahkan kesadaran untuk berzakat melalui lembaga dan kesadaran
membayar pajak secara jujur dan benar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa zakat yang
hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto, memang belum
memenuhi harapan maksimal para muzaki dan lembaga zakat di tanah air.
Akan tetapi, menurut kaidah fiqih, “Apa yang tidak didapat seluruhnya,
jangan ditinggalkan seluruhnya.” Jika kita belum berhasil memperjuangkan
zakat sebagai pengurang pajak, maka zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak jangan disia-siakan.
Wallahu a’lam bisshawab.
Ditulis Oleh: Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc (Ketua Umum BAZNAS)