Menurut Wahabi, dan mungkin seluruh umat
Islam di dunia, musik itu haram. Sebagian membolehkan selama tidak
melalaikan. Tetapi sebagian lain termasuk Wahabi, musik adalah haram.
Oleh karenanya berikut ini ada beberapa dalil yang biasa dipakai oleh
Wahabi dalam mengharamkan musik, walaupun demikian herannya kerajaan
Saudi sendiri (negara di mana Wahabi bercokol) juga mempunyai lagu
kebangsaan. Tetapi terlepas dari itu, mereka tetap mengharamkan musik.
Setelah membacanya, tergantung para pembaca untuk memilih apa mengikuti
mereka para Wahabi ini dan sejumlah dalil yang diutarakan, atau tidak.
Ini semua pilihan.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.”
(Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari
jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani
dalam At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun
sanadnya lemah)
Ishaq bin Thabba` rahimahullahu berkata:
Aku bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullahu tentang sebagian
penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau mejawab:
“Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang
yang fasiq (rusak).” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil
Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad
yang shahih)
Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul
genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan
kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?” Beliau menjawab: “Hendaklah
dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya,
kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa
berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju
(hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)
Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu berkata:
‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu menulis sebuah surat kepada ‘Umar
bin Walid yang isinya: “… Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan
seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan
An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh
Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)
‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi
rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan
kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan
sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan
tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash- Shalah,
2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148).
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman,
dari Asy- Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
At-Tahrim hal. 13)
Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahullahu
–seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah, salah seorang
guru Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah– ditanya: “Apakah engkau
membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali
orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih,
lihat At-Tahrim hal. 100)
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Para
tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy- Syafi’i rahimahullahu mengingkari
nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada perselisihan di
antara mereka. Sementara para pembesar orang- orang belakangan, juga
mengingkari hal tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib
Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang khusus tentang tercela
dan terlarangnya nyanyian.
Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan
para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat di antara mereka.
Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari mereka
adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa
nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para pengikut mazhab Hambali)
menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang biduan dan para penari.’
Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal. 283-284)
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata:
“Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya adalah riba, upah
para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi (mayit),
nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita langit,
hasil seruling dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)
Ath-Thabari rahimahullahu berkata:
“Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan
terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat
musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari
rahimahullahu di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)
Masih banyak lagi pernyataan para ulama
yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta nyanyian. Semoga apa
yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.
Musik sudah menjadi makanan pokok bagi
kebanyakan orang pada hari ini. Seakan-akan mereka tak bisa hidup tanpa
musik dan lagu. Pagi-pagi buta suara musik lah yang mengalun pertama
kali dari rumah-rumah mereka. Kalaulah kita data satu persatu, hampir di
setiap rumah kita temui kaset atau CD musik, karaoke dan sejenisnya!
Itulah realita kita!
Virus musik dan nyanyian yang tersebar
di kalangan masyarakat kita sudah mencapai titik yang sangat
membahayakan. Bahaya itu dapat kita lihat dari maraknya penjualan cd-cd
musik dan karaoke yang menjamur di kaki-kaki lima, mal-mal dan
tempat-tempat umum lainnya. Dengan stelan musik yang keras, begitu
memekakkan telinga dan mengganggu orang lain. Mereka tidak lagi
menghiraukan kata-kata cabul, kotor dan tak senonoh yang menjadi lirik
lagu tersebut. Sudah lumrah kata mereka!
Tidakkah mereka tahu, virus musik dan
nyanyian ini sangat besar daya rusaknya terhadap diri seseorang.
Hancurnya generasi muda sekarang ini, kalau kita telusuri sebabnya,
banyak yang berpangkal dari musik! Maka dari itu para ulama menyebut
musik dan lagu ini sebagai jampi-jampi perzinaan! Memang benar, daya
hipnotis musik lah yang mendorong mereka melakukan perzinaan, mulai dari
zina tangan, zina mata, zina telinga, zina kaki sampai pada akhirnya
dibuktikan oleh kemaluan!
Kalau kita mau jujur, sebenarnya pangkal
kerusakan ini tidak terlepas dari pendidikan orang tua yang sangat
lemah! Anak-anak mereka sejak usia dini sudah dicekoki dengan musik dan
lagu! Hingga kalau kebetulan kita melintas di jalanan atau sebuah gang
kadang kita temui sekumpulan anak-anak kecil sedang bernyanyi menirukan
penyanyi idolanya. Ajaibnya anak sekecil itu hafal lirik lagu dari awal
sampai akhir!!
Kalau dulu, pada era generasi Salaf
penyanyi begitu hina kedudukannya di mata masyarakat, sekarang justru
kebalikannya! Penyanyi begitu mulia dan terhormat dalam pandangan mereka
sehingga seluruh gerak-geriknya jadi buah bibir dan berita, seluruh
tindak-tanduk dan model penampilannya jadi trend di kalangan mereka.
Akibat dari itu semua adalah memudarnya
nilai-nilai ajaran agama yang murni! Al-Qur’an seakan sudah menjadi
sesuatu yang ditinggalkan! Tidak lagi dirasakan kenikmatan saat
mendengarnya! Shalat juga terganggu kekhusukannya. Memang, shalat adalah
ibadah pertama yang terkena dampak dari kecanduan musik dan nyayian
ini. Lirik-lirik lagu dan irama musik datang mengusik saat ia
mengerjakan shalat! Hilanglah kenikmatan shalat baginya. Kadang kala ia
juga meninggalkan shalat! Ia lebih memilih menikmati alunan musik
daripada menyambut seruan adzan! Fenomena seperti ini banyak kita dapati
di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh sebab itu jangan heran bila
pagelaran musik dipadati banyak pengunjung sementara jumlah orang yang
shalat jama’ah di masjid dapat dihitung dengan jari! Itulah realita!
Di lain pihak, ada pula yang berusaha
mengemas musik bernafaskan Islam, kata mereka! Mereka sebut nyanyian
ruhani, musik Islami, nasyid Islami dan seabrek istilah-istilah lainnya.
Seakan-akan seluruh perkara yang dibubuhi kata-kata ‘Islami’ menjadi
‘label halal’ baginya. Padahal menurut Ibnul Qoyyim musik-musik yang
katanya Islami itu ‘lebih berbahaya’ daripada jenis musik dan lagu
selainnya. Karena pembubuhan kata Islami di situ merupakan pernyataan
bahwa hal itu termasuk perkara yang ‘boleh’ menurut syariat Islam!
Padahal Dienul Islam tidak pernah membolehkan hal itu! Maka dengan
begitu ia bukan hanya sekedar maksiat namun meningkat menjadi bid’ah!
Banyak kita dapati orang-orang yang menikmati musik dan lagu Islami itu
berkeyakinan bahwa hal itu dapat meningkatkan keimanannya, mendorong
berbuat taat, mendorongnya untuk lebih mencintai Allah dan Rasulullah!
Ini adalah syubhat setan dalam menjerat mereka kepada hal-hal yang
memalingkan mereka dari Al-Qur’an dan dari mentadabburinya!
Banyak pula kita temui orang-orang yang
tergugah hatinya, bangkit kesedihannya hingga berlinang air mata karena
mendengar alunan nasyid atau syair! Namun tidak demikian halnya ketika
mendengar alunan ayat-ayat Al-Qur’an! Hatinya tidak tersentuh sedikit
pun!
Demikianlah melalui musik dan nyanyian
ini setan memalingkan anak Adam dari Kalamullah! Setan menebar
jarat-jerat syubhat agar anak Adam tetap meyakini bahwa mendengarkan
musik dan nyanyian ini bukanlah perkara yang perlu dipermasalahkan! Ini
terbukti dengan sedikitnya buku-buku atau tulisan-tulisan yang
membeberkan kebusukan musik dan nyanyian serta membongkar
syubhat-syubhatnya!
Banyak sekali syubhat-syubhat seputar
masalah musik dan nyanyian yang dihembuskan oleh setan. Salah satu di
antaranya, setan membisikkan kepada manusia, Apa bedanya mendengar musik
dengan mendengar suara kicauan burung, hembusan angin, gemersik
dedaunan, dan suara-suara alam lainnya?!
Lalu syubhat model seperti ini termakan
oleh orang-orang yang lemah akal dan imannya. Dalam buku ini, Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah memberikan jawaban-jawaban dan bantahan-bantahan
terhadap syubhat-syubhat semacam itu!
Buku ini sendiri merupakan jawaban dari
sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada para ulama tentang hukum musik,
lagu dan nyanyian. Kemudian pertanyaan itu diajukan kepada para ulama
dari empat madzab, yakni ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Dan Ibnul Qayyim adalah salah satu dari delapan ulama yang
memberikan jawaban. Dan jawaban beliau itu tertuang dalam sebuah uraian
penjang yang beliau beri judul: Kasyful Ghithaa’ ‘an Hukmi Samaa’il
Ghinaa’
Seluruh ulama empat madzhab tersebut sepakat bahwa musik, lagu dan nyanyian itu haram hukumnya!
Sepertinya buku ini perlu dibaca oleh
kaum muslimin sekarang ini. Agar mereka tahu status hukum musik dan
nyanyian serta dampak-dampak langsung maupun tidak langsung yang
diakibatkan olehnya. Karena bukan tidak sedikit diantara kaum muslimin
yang masih beranggapan musik, nasyid, qasidah dan sejenisnya itu
dibolehkan!? Lebih lanjut silakan mengikuti buku ini, mudah-mudahan
bermanfaat bagi diri kita dan masyarakat.
Demikian dari penerjemah, terakhir
sebagai pengingat kiranya perlu kita ketahui bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Akan muncul di kalangan
umatku nanti beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan
alat-alat musik”. (Shahih Al-Bukhari no 5590, Musnad Imam Ahmad V/342,
Sunan Abu Daud no. 3688, Sunan Ibnu Majah no. 4036). Lihat hal 41 buku
ini.
Saatnya Meninggalkan Musik
Siapa saja yang hidup di akhir zaman,
tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Bahkan mungkin di
antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap
lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga
sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok
si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik. Namun,
sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al
haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan
menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti
yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat
dirinya mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa
berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja,
karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia
dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan
mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan
yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga
dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas dengan hukum
keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat
dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam
mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih
gandrung dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah
membuka hati kita dan memberi hidayah kepada kita seperti yang
didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah
dan mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia
berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya,
seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah
padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah-
dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih
pendapat apa yang dimaksud dengan Ù„َÙ‡ْÙˆَ الْØَدِيثِ “lahwal hadits”
dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan
adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir
menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat
tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri
–rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud
ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu
‘anhu- berkata,
الغِÙ†َاءُ، ÙˆَالَّØ°ِÙŠ لاَ Ø¥ِÙ„َÙ‡َ Ø¥ِلاَّ Ù‡ُÙˆَ، ÙŠُرَدِّدُÙ‡َا Ø«َلاَØ« َÙ…َرَّاتٍ.
“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi
Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.”
Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]
Penafsiran senada disampaikan oleh
Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih,
Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug
(genderang).[2]
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya
mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan
seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan,
cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil
perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus
untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat
dan tabi’in.[3]
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran
sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan bisa dianggap
sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’).
Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai
“lahwal hadits” di atas sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab
tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap orang yang
haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini
menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau
mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama
statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah
penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada
penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang
paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah
karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.[4]
Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan lahwu
di dalam hadis dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah
perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka, apakah kamu merasa
heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak
menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan
sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud saamiduun?
Menurut salah satu pendapat, makna
saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman.
Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah
untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa
mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah
ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang
menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir
atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta,
lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sungguh, benar-benar akan
ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera,
khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di
lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir
mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata,
‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan
kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah
sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7] Jika
dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh
banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al
Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259).
Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu
Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.
Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu
Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti
Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga
mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad
hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan
sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan
kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim
rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan
Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi,
jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan
perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah
mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan
dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm,
sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling
mungkin, karena sangat banyak orang yang meriwayatkan (hadits) dari
Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari
adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan
dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini
dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal
ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah
shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits
tersebut dalam kitab shahih?
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits
ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di
sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola
yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa
atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan).
Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits
tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di
atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena
dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits
berikutnya.[8]
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, akan ada
orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan
selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita.
Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk
mereka menjadi kera dan babi.”[9]
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara
seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya
dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu
Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara
tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar
melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu
berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau
melakukannya seperti tadi.”[10]
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan
mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti
sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu
pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama
Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari
mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas
terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa
sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu
adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara
nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya,
jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,
“Demi Allah, bahkan mendengarkan
nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama
seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak
mendengarnya.”[11]
Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya
tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu
dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya
tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun
mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar
dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis
surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah
yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah
kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan
ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang
terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung
padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan
nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan
daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai
anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu
hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan
nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk
kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk
berbuat zina.”[12]
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab
yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[17]
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya
telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan
kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan
bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya
untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin
cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut,
agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan
nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati.
Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya
dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk
mendengarnya.”[18]
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada
orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan
dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin
adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang
ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan
hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak
masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin
yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada
orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari
nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al
Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak
akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan
mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al
Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan
sering keliru.”[19]
Adapun melatunkan bait-bait syair (alias
nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak.
Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa
syarat berikut:
Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa. Tidak diiringi alat musik. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair). Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]
Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa. Tidak diiringi alat musik. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair). Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa
pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan membaca,
merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup
dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama
sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan
perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim
rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan
hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an.
Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu
dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran
melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita
untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang
menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab
seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti
langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal
yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]
Dari sini, pantaskah Al Qur’an
ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika
seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi
ganti dengan yang lebih baik.
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan
sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan
sesuatu yang lebih baik.”[23]
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu
dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu
semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran,
niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan
ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap
orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
[1] Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil
Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1420 H.
[2] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani, 5/483, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Ighatsatul Lahfan min
Masho-idisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/240, Darul Ma’rifah,
Beirut, cetakan kedua, 1395 H
[5] Lihat Zaadul Masiir, 5/448.
[6] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.
[7] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
[8] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260.
[9] HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroini, 11/567, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[12] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H
[13] Lihat Talbis Iblis, 282.
[14] Lihat Talbis Iblis, 284.
[15] Lihat Talbis Iblis, 283.
[16] Lihat Talbis Iblis, 280.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.
[18] Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li
Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq
& Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 1/543, Wizarotusy Syu’un
Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1419 H
[19] Majmu’ Al Fatawa, 11/567.
[20] Seperti terdapat riwayat dari ‘Umar
bahwa beliau membolehkan memukul rebana (ad-duf) pada acara nikah dan
khitan. Dan ini adalah pengkhususan dari dalil umum yang melarang alat
musik. Sehingga tidak tepat jika rebana ini diqiyaskan (dianalogikan)
dengan alat musik yang lain. (Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil
Ghina wal Ma’azif, hal. 61, Asy Syamilah)
[21] Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 44-45, Asy Syamilah.
[22] Ighatsatul Lahfan, 1/248-249.
[23] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.