Delightedream Website

  • Kumpulan artikel Islami, sesuai pemahaman salafusshalih.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Jul 15, 2014

Tabarruj, dandanan ala jahiliyah wanita modern (Bagian 4)

Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
 Adabeberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:

1- Syubhat pertama:
 Hadits Ummu Khalid bintu Khalid  yang terdapat dalam shahih imam al-Bukhari[67], bahwa Rasulullah  dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah  memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid  dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju ini sanaah (bagus)”.

Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah  harus dikembalikan kepada para ulama salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani[68] maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid  yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil, bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid  sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang telah dewasa.


2- Syubhat kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari[69] dari ‘Atha’ bin Abi Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah  di ka’bah. ‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah , istri Nabi ) berada di dalam sebuah tenda kecil (tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau  kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah  memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah  memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.

Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani[70] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah  memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’ masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah, karena alasan-alasan berikut:
- ‘Aisyah  memakai pakaian tersebut di dalam tenda tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.
- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar, kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah  memakai pakaian tersebut dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu diperbolehkan.
-Adakemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan imam Ibnu Hajar di atas.

3- Syubhat ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf (kebiasaan) masyarakat.

Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan) masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat[71].
Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.
Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat.
Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan kekeliruan yang nyata.

Nasehat dan penutup
 Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allah  untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.


Allah  berfirman:

{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yuunus:58).

“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “al-Qur’an”[72].
Dalam ayat lain Allah  berfirman:

{وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ}
“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” (QS al-Munaafiqun:8).

Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab  berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah  memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah  akan menjadikan kita hina dan rendah”[73].
Semoga Allah  menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah  dan Rasul-Nya  dalam agama Islam.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
KotaKendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 447).
[2] Kitab “Qawa-‘idul ahkaam” (hal. 2).
[3] Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 53).
[4] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 489).
[5] Kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 3).
[6] Juga termasuk di dalam rumah jika ada laki-laki yang bukan mahram wanita tersebut.
[7] Lihat kitab “an-Nihaayatu fi gariibil hadiitsi wal atsar” (1/289) dan “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 231).
[8] Kitab “Fathul Qadiir” (4/395).
[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 663).
[10] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 44 – 45).
[11] HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mu’jamul  ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2688).
[12] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur-an” (14/174).
[13] Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 22).
[14] Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (4/308).
[15] Al-Fataawa al-imaaraatiyyah.
[16] Yaitu QS al-Ahzaab: 33, 34 dan ath-Thalaaq:1.
[17] Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 87).
[18] Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 6-7).
[19] Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (5/227).
[20] Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125), dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no. 2128).
[21] Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 107-108).
[22] Lihat kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6) dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 79-80).
[23] HR Ahmad (2/196) dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121).
[24] HR Ahmad (6/19) dan al-Hakim (1/206), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 119).
[25] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[26] Dalam kitab beliau “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6).
[27] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125).
[28] HSR Muslim (no. 2128).
[29] HSR Muslim (no. 2742).
[30] Ringkasan dari pembahasan dalam kitab “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 87-109), tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, dengan sedikit tambahan.
[31] Lihat “fataawa lajnah daimah” (17/141).
[32] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 120).
[33] Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani, dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no.
[34] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126).
[35] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[36] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 132-133). Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.
[37] Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[38] HR Ahmad (5/205) dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani  dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[39] Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul kubra” (8/252) dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 127).
[40] HR an-Nasa’i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[41] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1031).
[42] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 139).
[43] Kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/178).
[44] HR Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad (2/325), al-Hakim (4/215) dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 141).
[45] HSR al-Bukhari (no. 5546).
[46] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 146-147).
[47] HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[48] Kitab “Masa-ilul imam Ahmad” karya imam Abu Dawud (hal. 261).
[49] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 150), “Syarhul kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101).
[50] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh al-‘Utsaimin dalam “Syarhul kaba-ir” (hal. 212).
[51] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 213).
[52] HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan Ahmad (2/92), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[53] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38).
[54] Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[55] HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[56] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[57] Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[58] Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[59] Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[60] Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[61] Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[62] Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10).
[63] HR at-Tirmidzi (no. 2788)  dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[64] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123).
[65] Ibid (hal. 119).
[66] Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).
[67] No. 3661 dan no. 5485.
[68] Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[69] No. 1539.
[70] Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[71] Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[72] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/227).
[73] Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130), dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.