Delightedream Website

  • Kumpulan artikel Islami, sesuai pemahaman salafusshalih.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Mar 28, 2013

Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak

Setiap muzaki yang melakukan pembayaran zakat melalui Badan Amil Zakat (menurut nomenklatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 berubah menjadi BAZNAS, BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang teregistrasi mendapat insentif dalam kaitan dengan pembayaran pajak penghasilan, yaitu bukti pembayaran zakat atau disebut Bukti Setoran Zakat diperhitungkan sebagai komponen biaya yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak atau disebut “pengurang penghasilan bruto”.
Formulir Bukti Setor Zakat dari BAZNAS yang dapat dilampirkan 
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak.



Pembayaran zakat atas gaji karyawan melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Kementerian/Lembaga dan BUMN baik dilakukan secara tunai maupun payroll system juga diakomodasi sebagai pengurang penghasilan kena pajak, dengan syarat UPZ tersebut menyetorkan dana zakat yang terkumpul kepada BAZNAS dan atas dasar itu BAZNAS menerbitkan kwitansi bukti setoran zakat.

Terkait dengan itu, dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat (UU No 23 Tahun 2011) bahwa  BAZ atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran zakat tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam pengisian SPT tahunan.

Pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak (penghasilan bruto) telah berlaku sejak 2001. Namun sampai saat ini masih banyak Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam atau pembayar zakat (muzaki) yang belum memanfaatkan pengurangan penghasilan bruto atas Pajak Penghasilan (PPh) tersebut. Untuk itu amil zakat dan pegawai pajak di semua kantor pelayanan diharapkan dapat memberi informasi dan penjelasan kepada para muzaki dan Wajib Pajak yang dilayaninya.

Penting diketahui bahwa pengurang penghasilan bruto sebetulnya tidak hanya zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam, tetapi juga berlaku untuk zakat penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan atau lembaga zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku di negara kita, khususnya yang terkait dengan PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dikurangkan dari penghasilan bruto. Kebijakan Ditjen Pajak juga menetapkan bahwa terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang ketika penyampaian SPT Tahunan PPh yang menyatakan kelebihan bayar (termasuk lebih bayar karena pemotongan zakat), niscaya akan dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajaknya tanpa melalui pemeriksaan, tetapi cukup dengan penelitian oleh pegawai pajak.

Upaya mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto, tidak cukup hanya dilakukan oleh BAZNAS dan Kementerian Agama saja. Tetapi membutuhkan koordinasi, kerjasama dan sinergi dengan instansi terkait, terutama jajaran  Direktorat Jenderal Pajak.  Koordinasi, kerjasama dan sinergi itulah yang ke depan perlu dibangun di tingkat institusi, karena bagi umat Islam zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang seiring dan paralel.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa zakat dan pajak  harus dikelola secara amanah dan transparan. Kejujuran  tidak hanya dituntut dari para muzaki dan Wajib Pajak ketika menghitung sendiri kewajiban zakat dan pajak penghasilannya, tetapi juga para petugas pengumpul zakat dan pemungut pajak. Ketidakjujuran/ketidak-amanahan akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat dan melemahkan kesadaran untuk berzakat melalui lembaga dan kesadaran membayar pajak secara jujur dan benar.

Tidak dapat dipungkiri bahwa zakat yang hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto, memang belum memenuhi harapan maksimal para muzaki dan lembaga zakat di tanah air. Akan tetapi, menurut kaidah fiqih, “Apa yang tidak didapat seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.” Jika kita belum berhasil memperjuangkan zakat sebagai pengurang pajak, maka zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak jangan disia-siakan.

Wallahu a’lam  bisshawab.    
                
 Ditulis Oleh: Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc (Ketua Umum BAZNAS)